
Menjalani ibadah haji adalah dambaan bagi setiap muslim untuk menyempurnakan keislamannya. Ketika menjalankannya, para peziarah ini kerap merasakan pengalaman unik.
Alhamdulillah, pada tahun 2004, saya dan suami dapat melaksanakan rukun Islam yang ke 5, melaksanakan ibadah haji. Saat itu antrian untuk berangkat haji belum panjang seperti sekarang. Awal tahun 2003, kami mendaftar dan tahun berikutnya kami sudah bisa berangkat.
Kami berangkat gelombang pertama. Madinah menjadi tempat persinggahan pertama. Setelah penuh melaksanakan Arbain, kamipun berangkat menuju Makkah. Kami sampai hotel tempat kami menginap ba'da Isya. Setelah beristirahat, kami dan rombongan melaksanakan thawaf qudum/ thawaf selamat datang. Alhamdulillah, hotel kami di Misfalah, ternyata dekat sekali dengan Masjidil Haram, hanya 500 meter.
Suasana Masjidil Haram, malam itu sudah mulai padat. Pintu masuk kami pertama kali melalui pintu Baabussalam. Pertama kali melihat Ka'bah, diri ini serasa kecil sekali... Subhanalloh, wallahuAkbar, hati dan lisan tak hentinya berdzikir dan air matapun deras mengalir memandangi Ka'bah yang begitu kokoh dan indah. Sayapun terpaku melihatnya. Sampai tangan saya ditarik suami, untuk segera berthawaf, saya masih terkagum kagum, sehingga tak sadar, kalau saya sudah berada di putaran thawaf, dan tidak merasakan padat atau berdesakdesakan. Mungkin juga karena terbawa suasana haru sampai selesai thawaf dan sai.
Alhamdulillah, pada tahun 2004, saya dan suami dapat melaksanakan rukun Islam yang ke 5, melaksanakan ibadah haji. Saat itu antrian untuk berangkat haji belum panjang seperti sekarang. Awal tahun 2003, kami mendaftar dan tahun berikutnya kami sudah bisa berangkat.
Kami berangkat gelombang pertama. Madinah menjadi tempat persinggahan pertama. Setelah penuh melaksanakan Arbain, kamipun berangkat menuju Makkah. Kami sampai hotel tempat kami menginap ba'da Isya. Setelah beristirahat, kami dan rombongan melaksanakan thawaf qudum/ thawaf selamat datang. Alhamdulillah, hotel kami di Misfalah, ternyata dekat sekali dengan Masjidil Haram, hanya 500 meter.
Suasana Masjidil Haram, malam itu sudah mulai padat. Pintu masuk kami pertama kali melalui pintu Baabussalam. Pertama kali melihat Ka'bah, diri ini serasa kecil sekali... Subhanalloh, wallahuAkbar, hati dan lisan tak hentinya berdzikir dan air matapun deras mengalir memandangi Ka'bah yang begitu kokoh dan indah. Sayapun terpaku melihatnya. Sampai tangan saya ditarik suami, untuk segera berthawaf, saya masih terkagum kagum, sehingga tak sadar, kalau saya sudah berada di putaran thawaf, dan tidak merasakan padat atau berdesakdesakan. Mungkin juga karena terbawa suasana haru sampai selesai thawaf dan sai.

Keesokan harinya setelah cukup beristirahat dan kamipun melaksanakan shalat tahajud dan subuh di Masjidil Haram. Saya dan suami sudah berkomitmen, setiap habis shalat kami usahakan untuk melaksanakan thawaf.
Setelah shalat dhuha, kamipun mulai turun ke lantai thawaf, saat itulah saya merasakan ketakutan yang amat sangat ketika hendak thawaf, melihat begitu banyak orang padat sekali dan berdesak-desakan. Saya merasakan takut jatuh dan terinjak-injak. Badan saya pun berkeringat dingin. Akhirnya saya melaksanakan thawaf di lantai dua, walau jarak putaran menjadi lebih lama, tetapi saya nyaman thawaf di lantai dua.
Ini berlangsung sampai 2 hari berturut-turut saya selalu thawaf di lantai dua. Sambil saya terus introspeksi diri mengapa saya merasa demikian ketakutan ketika melihat orang berdesak-desakan melaksanakan thawaf di sekitar Ka'bah. Akhirnya saya yakin hal itu disebabkan sejak kecil oleh nenek saya selalu dilarang mendatangi kerumunan orang. Misalnya kalau ada festival atau acara, yang dikunjungi banyak orang, selalu nenek melarang sambil mengatakan "nanti bisa ketendang atau terjatuh" dan berbagai alasan lainnya sehingga saya tidak pergi. Rasa takut itulah agaknya yang muncul saat thawaf dan melihat kerumunan.orang sedang thawaf di sekitar Ka'bah. Sehingga setiap shalatpun saya selalu memilih tempat di atas.
Setelah shalat dhuha, kamipun mulai turun ke lantai thawaf, saat itulah saya merasakan ketakutan yang amat sangat ketika hendak thawaf, melihat begitu banyak orang padat sekali dan berdesak-desakan. Saya merasakan takut jatuh dan terinjak-injak. Badan saya pun berkeringat dingin. Akhirnya saya melaksanakan thawaf di lantai dua, walau jarak putaran menjadi lebih lama, tetapi saya nyaman thawaf di lantai dua.
Ini berlangsung sampai 2 hari berturut-turut saya selalu thawaf di lantai dua. Sambil saya terus introspeksi diri mengapa saya merasa demikian ketakutan ketika melihat orang berdesak-desakan melaksanakan thawaf di sekitar Ka'bah. Akhirnya saya yakin hal itu disebabkan sejak kecil oleh nenek saya selalu dilarang mendatangi kerumunan orang. Misalnya kalau ada festival atau acara, yang dikunjungi banyak orang, selalu nenek melarang sambil mengatakan "nanti bisa ketendang atau terjatuh" dan berbagai alasan lainnya sehingga saya tidak pergi. Rasa takut itulah agaknya yang muncul saat thawaf dan melihat kerumunan.orang sedang thawaf di sekitar Ka'bah. Sehingga setiap shalatpun saya selalu memilih tempat di atas.

Suatu ketika di sisi arah multazam di lantai dua usai shalat saya berdoa : "Ya Allah, saya mohon ampun kepada Mu. Saya mohon Engkau perlihatkan kepadaku apa yang terjadi seandainya saya terjatuh ketika sedang thawaf di dekat Ka'bah. Tunjukkanlah bahwa saya akan tetap aman?." Usai shalat, entah mengapa tiba-tiba perhatian saya tertuju kepada seorang ibu di lantai pertama tidak jauh dari Ka'bah. Si ibu tiba-tiba terjatuh tetapi dengan cepat orang-orang di sekitarnya menangkap si ibu dan membawanya secara estafet dan didudukkan di Hijir Ismail. Sejak itu timbul keyakinan bahwa kalau saya jatuh pasti ada yang menolong. Kesempatan thawaf berikutnya saya mengutarakan niat saya kepada suami, untuk thawaf dilantai dasar. Kamipun masuk sampai ke tengah kerumunan orang thawaf. Keberanian saya timbul dan akhirnya hilang semua rasa takut itu. Dan sayapun bisa berthawaf dekat dengan Ka'bah. Alhamdulillah.
Alhamdulillah hingga sekarang saya sudah tidak lagi takut dengan kerumunan orang. Allah mendengar dan mengabulkan doa saya. Terimakasih, ya Allah. Engkau telah memenuhi janji Mu untuk mengabulkan doa setiap hamba Mu.
Sayapun mengambil hikmah atas pengalaman yang saya alami. Adanya pengalaman unik itu, kata Ustadz saya, justru menandakan Allah memperhatikan kita sebagai tamu Allah.
Alhamdulillah hingga sekarang saya sudah tidak lagi takut dengan kerumunan orang. Allah mendengar dan mengabulkan doa saya. Terimakasih, ya Allah. Engkau telah memenuhi janji Mu untuk mengabulkan doa setiap hamba Mu.
Sayapun mengambil hikmah atas pengalaman yang saya alami. Adanya pengalaman unik itu, kata Ustadz saya, justru menandakan Allah memperhatikan kita sebagai tamu Allah.